Dalam sebuah relasi sosial di masyarakat, memiliki orang-orang yang kita sayang dan menyayangi kita merupakan harapan setiap orang. Terlebih, kasih sayang itu dicurahkan sepenuh hati baik dalam ucapan maupun perbuatan. Namun pada kenyataannya, kita tidak jarang menemukan banyak hal dari kebencian orang lain kepada kita. Tentu saja, yang demikian membuat kita tidak enak hati bahkan turut membenci orang yang berperangai buruk terhadap kita. Baik dari ucapannya maupun perbuatannya.
Ada orang yang Allah Ta’ala benci disebabkan perkataan dan sikapnya dalam bertutur. Ada pula orang-orang yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membencinya, kecuali jika ia mau memperbaiki diri dan berubah. Inilah yang perlu kita kenali seraya berusaha melihat kepada diri sendiri, adakah kita termasuk di dalamnya? Bahkan sangat mungkin kita memerlukan orang lain untuk menunjukkan kekeliruan kita. Mungkin kita tidak merasa, padahal sudah termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak disukai. Na’udzubillahi min dzaalik.
Dari Abi Tsa’labah Al-Khusyani ra berkata: bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlaknya di antara kalian, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh denganku kelak pada hari kiamat adalah al-tsartsarun (orang yang suka mengkritik tanpa melalui pertimbangan bijak dan fakta) dan al-mutasyaddiqun (orang yang berbicara sembrono) dan al-mutafaihiqun” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah! Kami tahu (mereka) ats-tsartsarun dan almutasyaddiqun, namun siapa mereka al-mutafaihiqun?” Rasulullah saw bersabda: ”Mereka adalah orang-orang yang sombong” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Beberapa perilaku yang harus dihindari dalam berkomunikasi dalam hadits di atas antara lain:
Pertama, Al-Tsartsarun, yaitu banyak berbicara tanpa dilandasi berbagai macam pertimbangan yang logis serta aturan syariat. Gemar menghunjamkan kritik kepada orang lain tanpa didasari argumen yang benar dan tepat serta ingin memfitnah dan menjatuhkan orang lain. Kritik yang baik adalah kritik yang membangun dan didasarkan pada semangat saling menasehati antara sesama Muslim dalam koridor keimanan dan ukhuwah Islamiyah sehingga terwujud kemashlahatan hidup di dunia dan akhirat.
Kedua, al-mutasyaddiqun, yaitu berkomunikasi secara sembrono dengan mengesampingkan kaidah-kaidah komunikasi yang benar dan tepat atau berbicara tidak dengan ilmu, tetapi dengan syahwat yang akan menjadikan seseorang melampaui batas-batas kewajaran. Misalnya, bercanda-sebagai salah satu ekspresi komunikasi-tanpa mengenal batas-batas nilai-nilai yang disakralkan oleh sebagian orang atau kelompok. Orang mudah menjadikan agama sebagai bahan canda-ketawa comedy, padahal itu adalah perkara yang sangat sensitif menyangkut keyakinan masing-masing orangpersonal. Sehingga dapat menyulut konflik yang kemudian dikatakan konflik agama. Padahal, konflik tersebut dimulai dari lisan seseorang yang tidak dapat dikendalikan oleh empunya. Al-mutasyaddiqun juga dapat dimaksudkan pada mereka yang tidak dapat mengatur bentuk hingga durasi bicara, sehingga kadang kita dapati seorang komunikator sangat panjang durasi bicaranya, namun tidak ada isi serta hikmah di dalamnya.
Ketiga, al-mutafaihiqun, yaitu orang-orang yang sombong ketika berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa bentuk kesombongannya antara lain ketidakmampuan si komunikator menghargai pendapat orang lain yang memiliki argumen lebih kuat dengan tetap mempertahankan pendapatnya. Artinya, menolak kebenaran itu sendiri sebagaimana didefinisikan oleh para ulama ahli etika Islam, bahwa sombong adalah bathara al-haq wa ghamtu al-nas, menolak kebenaran dan merendahkan manusia komunikannya.